Cong... cong... cong Kopi
Pancong, tak beduet kopiku pancong...
Cong...
cong... cong Kopi Pancong, mau iret kopinye pancong..
Itulah sepenggalan
lirik dalam lagu yang sangat populer dikota Pontianak, lagu dengan judul Kopi
Pancong ini mengangkat sebuah kebiasaan kalau tidak mau disebut tradisi dari
sebuah masyarakat yang membangun wilayah ini sejak 242 tahun yang lalu. Aek Kopi, kuliner yang menjadi pemikat
hari-hari di kota sebelah barat Kalimantan. Pemenuhan selera atas kebutuhan
dahaga tak terlupakan.
Kopi Pancong,
istilah ini dulunya sangat populer bagi masyarakat yang beraktivitas
sehari-hari di pasar tradisional yang letaknya di jantung kota ini. Embun belum
lama mengering, ketika para kuli-kuli yang bekerja memasuki sebuah kedai atau
warung untuk menikmati jajanan pasar
serta secangkir kopi tentunya. Memesan segelas kopi di warung-warung pada pasar
tradisional, berarti kita memesan segelas kopi yang mana bubuk minuman tersebut
telah tersaring pada proses pembuatan pertama kali, kecuali yang kita pesan
adalah kopi bubuk, maka pelayan akan memberikan kita segelas kopi lengkap
dengan bubuknya, tentu hal ini berbeda dengan kota-kota lain khususnya di Pulau
Jawa.
Pada lirik lagu
diatas, sangat jelas sekali bahwa penikmat kopi pancong merupakan golongan
kelas menengah kebawah, di eropa lebih dikenal dengan masyarakat proletar,
buruh-buruh pabrik yang bekerja pada Industrialisasi negara-negara maju di
abad-abad ke 18. Kaum proletar di kota ini merupakan kaum yang bekerja pada
bidang-bidang swasta, mulai dari pedagang kecil sampai pada buruh perusahaan
kayu atau sawmil yang banyak tersebar di pinggiran kota pontianak. Golongan
inilah yang memiliki domain atas popularitas Kopi Pancong.
Pancong adalah
istilah masyarakat setempat untuk menyebut nama lain dari memenggal. Jika
digabungkan maka Kopi Pancong merupakan Kopi setengah gelas dari biasanya.
Tidak hanya berlatar ekonomi, Kopi Pancong juga menjadi solusi alternatif atas
Kepercayaan masyarakat terhadap datangnya Kemponan. Istilah yang satu ini
sangat dikenal dikalangan masyarakat setempat. Kemponan merupakan kepercayaan
akan datangnya bala jika seseorang
yang ditawari minuman atau makanan dengan terang-terangan menolak tawaran
tersebut. Biasanya untuk menghindari kemponan tersebut, suka atau tidak,
seseorang harus mencicipi sedikit tawaran yang dimaksud, entah itu nasi atau
kopi. Kepercayaan ini mendorong akan budaya silaturahmi untuk semakin
ditingkatkan. Berangkat dari hal tersebut, maka tidaklah heran jika seorang
teman di warung kopi akan menunda kepergiannya tatkala ditawari untuk mencicipi
segelas kopi. Kebiasaan unik yang menurut kalangan Ekspatriat dapat mengurangi efisiensi waktu dalam berproduktivitas.
Melihat kebelakang,
Kopi merupakan salah satu tanaman yang dibudidayakan di Nusantara sejak
beberapa abad yang lalu. Biji Kopi juga menjadi salah satu primadona Kerajaan
Belanda untuk memeras peluh para petani agar tetap menanam dan memproduksi kopi
terbaik di dunia dan mengalirkan pundi-pundi Gulden ke Kocek para bangsawan di
negeri kincir angin tersebut. Selanjutnya, minuman ini menjadi salah satu
kebiasaan kaum inlander untuk sekedar melepas lelah setelah seharian bekerja.
Meminum Kopi bagi
masyarakat Nusantara, seperti meminum secangkir teh bagi tiongkok, wine bagi
Perancis atau vodka bagi Rusia. Walaupun para ahli medis terus mengingatkan
pasiennya untuk mengurangi Konsumsi minum Kopi, tapi tetap saja kebiasaan ini
berlangsung turun temurun. Bagi sebagaian Kalangan, mengonsumsi satu atau dua
gelas kopi dalam sehari bukan lagi menjadi hal yang baru, bahkan telah menjadi
kebiasaan yang terlestarikan.
Di pesisir Barat
Kalimantan, warung-warung kopi dapat dengan mudah ditemui. Tidak ada aturan
yang tegas dibuat oleh Pemilik warung dalam memilih konsumen. Maka tak heran,
jika kita beruntung bisa melihat seorang Pejabat Bupati atau Gubernur duduk di
warung kopi langganannya. Bukan untuk mencari popularitas, namun lebih kepada
keinginan untuk mencicipi tetes demi tetes dari secangkir kopi kesukaannya.
Lagi, Kopi Pancong
tidak hanya mengandalkan latar ekonomi. Tapi jauh dibalik itu, sebuah ideologi
telah berkembang dalam segelas minuman ini. Ideologi yang membebaskan rasa
ketakutan untuk bertemu orang banyak. Ideologi yang mendorong akan kebebasan
setiap individu untuk bisa menguasai satu meja tanpa bisa menguasai meja yang
lain. Ideologi yang mengaburkan batas-batas keyakinan pada Tuhan antara kursi
satu dengan yang lainnya pada sebuah meja di pojok warung. Ideologi yang
mendorong silaturahmi antara pemuda inlander dan pemuda pesisir. Ideologi yang
menghapus batas antara Bapak pejabat yang terhormat dengan rakyat jelata
pengguna arloji bekarat. Ideologi yang diwariskan antara Bapak kepada Anak
tanpa harus melaluinya di bangku-bangku sekolah filsafat. Ideologi yang
mempopulerkan banyak produk, salah satunya adalah facebook ciptaan Mark
Zuckerberg kepada generasi yang dulunya malang melintang di dunia Citizen Band.
Disinilah kekuatan
dari segelas Kopi Pancong, proses transformasi ilmu dan pengetahuan dilakukan
dibawah tekanan kemponan. Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak mengerti
menjadi mengerti. Dari awam menjadi paham. Dan pada meja lain di warung
tersebut, beberapa diantaranya berhasil membeli satu atau dua kapling tanah
murah yang menurut rencananya kawasan tersebut akan menjadi kota satelite atau
penopang bagi kawasan lainnya, lumayan buat investasi dimasa depan.
Menemani segelas
kopi pancong hari ini tak lagi dengan rokok kretek tanpa filter, hembusan asap
dari mulut seorang penikmat kopi semakin membuat suasana warung semakin
menggeliat. Harum dari sebatang rokok para cowboy pun dapat terasa disela-sela
kegilaan menikmati tetesan kopi pancong. Dan tidak lagi kopi pancong disandingkan
dengan kertas-kertas bekas bungkus rokok yang berisi coretan nomor-nomor cantik
hasil mimpi janda tetangga sebelah yang sintal, namun hari ini cangkir itu
ditemani karya terakhir dari Steven Jobs yang berupa perangkat elektronik
bersegi dan memiliki fitur yang mampu memenuhi kebutuhan akan informasi
masyarakat global.
Tapi Kopi Pancong
tetaplah sederhana, sebagaimana bentuknya yang tak pernah berubah sejak kakek
mengenal nenek dalam sebuah ta’aruf ala
kadarnya lebih dari setengah abad yang lalu. Masih dengan gelas keramik ukiran
seniman Tiongkok. Atau gelas kaca entah apa mereknya, namun rasa dan nikmatnya
tak pernah surut ditelan zaman. Kata babe dulu, toke yang melayani mereka di
masa Koes Plus sedang jaya-jayanya tak pernah berubah tampilannya. Masih seperti
Bruce Lee, hanya kini badannya telah berisi
dan hari-harinya dilalui dengan membaca koran saja, sama seperti para Godfather
di dunia Mafioso ketika mereka telah
menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Anak lelakinya.
Kopi Pancong,
umumnya merupakan warisan kebiasaan yang diturunkan dari Ayah kepada Anak
Lelakinya. Suka tidak suka, inilah yang membuat kopi pancong tetap digemari.
Kebiasaan pada minggu pagi anak laki-laki menemani ayahnya ke warung kopi. Sebagaimana
doktrin yang disampaikan guru TK kepada muridnya melalui lagu anak-anak yang
liriknya berkata “Pada hari minggu ku
turut ayah ke kota, naik delman Istimewa dimuka”. Di tambah lagi dengan
perjanjian tak tertulis guru SD yang selalu mengajarkan bahwa “Budi membantu Ayah di Kebun, Ani membantu
Ibu di Dapur. Maka tak heran, Kopi Pancong menjadi icon dari kebiasaan kaum
laki-laki diluar rumah. Kebiasaan yang cenderung menghalalkan pandangan
diskriminatif terhadap kaum perempuan di warung kopi. Inilah yang menjadi
pembatas jelas atas alasan yang dipercaya sebagai takdir. Tuntutan pendidikan dan Karir yang diperjuangkan oleh
RA. Kartini satu abad yang lalu telah berhasil membawa kaum perempuan untuk
sederajat dengan laki-laki dalam semua bidang, namun hal itu belum berhasil
membawa kederajatan itu diatas kursi-kursi plastik di warung kopi.
Inilah yang membuat
Kopi Pancong semakin unik, seperti kita menikmati tetesan dalam tegukan yang
belum juga usai. Ingin menambah segelas lagi, tapi waktunya untuk segera pulang.
Tidak ingin seperti Bang Toyib yang tidak pulang-pulang, akhirnya sang istri
pun menyusul dan ingin meradang, tapi apa daya alamat palsu yang dipegang,
entah kemana lagi mencari abang yang tersayang.
Tetesan kopi
pancong pun berakhir dengan sukses, sebatang rokok lagi akan menemani dalam
perjalanan pulang, sebuah doa pun dipanjatkan, semoga rakyat Libya dapat hidup
sejahtera setelah tewasnya diktator dan revolusioner yang telah lama berkuasa,
selamat jalan Raja Di Raja Afrika,
semoga dikehidupan kelak, namamu abadi dikenang sepanjang sejarah
generasi bangsamu. Amin.
(Penulis adalah
seorang Blogger Yang Cinta Tanah Air dan Bangsanya)
Post a Comment