“Hati-hati nak di
sana, belajar yang tekun agar bisa cepat kembali ke rumah...!!!”
Itulah sebait pesan
klasik yang disampaikan oleh orang tua ketika anaknya yang baru tamat SMA
memutuskan untuk pindah ke ibu kota provinsi agar dapat melanjutkan kuliah.
Pesan dalam keikhlasan yang sangat berat kepada buah hatinya agar tetap terus
semangat menempuh pendidikan, supaya bisa menjadi kebanggaan orang tua. Tak
hanya pesan, dalam doa pun terukir nama sang anak agar tetap dilindungi oleh
Tuhan Pemilik segalanya.
Begitu menginjakkan
kaki ke Kota Khatulistiwa, sang anak pun kagum dengan pembangunan dan
tempat-tempat yang begitu wah, bagi anak muda yang berasal dari Kota ini
dianggap biasa saja, namun bagi anak-anak dari pelosok kabupaten, pembangunan
terasa timpang dibandingkan dengan tempat tinggalnya. Lalu anak muda tersebut
pun memilih tempat kost yang letaknya tak jauh dari kampusnya. Dari sinilah
kisah itu dimulai.
Mahasiswi nan jelita, sosok manis yang kukenal
beberapa tahun setelah menempuh kuliah, beda
fakultas tapi masih dalam satu komplek universitas merupakan seorang gadis remaja yang berangkat dewasa. Jarak kotaku dengan kabupatennya 8 Jam Jalan darat. Kami bertemu pada waktu Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM), beda pos dan masih dalam satu kecamatan. Intensitas pertemuan yang cukup sering membuat komunikasi kami terbangun dengan baik. Walaupun seringkali friksi atau gesekan sering kali terjadi antara kami berdua, sama-sama keras kepala, egois, mau menang sendiri dan bahkan yang paling sering terjadi antara aku dan dia adalah saling menjatuhkan satu sama lain pada rapat-rapat atau diskusi terbuka. Satu hubungan yang terbangun dari suatu sikap permusuhan. Tidak baik tapi itulah yang terjadi. Setelah KKM selesai, hubungan yang sempat memanas tersebut luluh ketika dia meminta maaf, dan dengan keegoan, hanya sikap dingin yang ku dorong kehadapannya.
fakultas tapi masih dalam satu komplek universitas merupakan seorang gadis remaja yang berangkat dewasa. Jarak kotaku dengan kabupatennya 8 Jam Jalan darat. Kami bertemu pada waktu Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM), beda pos dan masih dalam satu kecamatan. Intensitas pertemuan yang cukup sering membuat komunikasi kami terbangun dengan baik. Walaupun seringkali friksi atau gesekan sering kali terjadi antara kami berdua, sama-sama keras kepala, egois, mau menang sendiri dan bahkan yang paling sering terjadi antara aku dan dia adalah saling menjatuhkan satu sama lain pada rapat-rapat atau diskusi terbuka. Satu hubungan yang terbangun dari suatu sikap permusuhan. Tidak baik tapi itulah yang terjadi. Setelah KKM selesai, hubungan yang sempat memanas tersebut luluh ketika dia meminta maaf, dan dengan keegoan, hanya sikap dingin yang ku dorong kehadapannya.
Selesai KKM kami
kembali ke aktivitas seperti semula, aku dengan jabatan seorang administratur
pada beberapa lembaga otonomi kampus dan doi ternyata pun sama, hanya saja dia
berada di organisasi jurusannya. Kesan yang timbul awalnya kurang baik pun kami
perbaiki. Nongkrong di Kantin Panjang (sekarang namanya YUSRA) pun sering kami
lakukan, karena kami sama-sama mahasiswa jadi untuk enaknya, prinsip kami pun
masing-masing, makan dan bayarnya pun masing-masing. Curhatan demi curhatan
sering kami lakukan disana. Tak peduli siang atau malam. Rasa ketertarikan
kepadanya mulai timbul didalam diriku. Walaupun waktu itu aku memiliki seorang
pacar yang tak kalah cantiknya, dan pacarku juga satu kampus dengannya, malah
pacarku ini adalah adik tingkatnya di jurusan yang sama.
Namun itulah masanya gejolak remaja yang berapi-api dan membara (Filosofi Rhoma Irama). Si Doi (teman KKM ku ini) juga telah memiliki kekasih hati. Di usia kami yang memasuki angka 24 tahun pada masa itu (kami sama tahun kelahirannya), tak jua membuat kami merenggangkan hubungan curhat-curhatannya. Kegilaan nongkrong, ngopi dan cerita-cerita lucu pun kami lalui. Sedikit banyak mempengaruhi kegiatan kuliah kami pada masa itu. Intensitas kebersamaan dengan pacar masing-masing pun bekurang. Kami saling ketagihan untuk terus bertemu tiap harinya. Aku pun tau jadwal dia melewati kantin disamping organisasiku. Setiap pandangan mata menjadi teka-teki atas perubahan sikap kami yang sesaat. Tanpa kami sadari, dimasa itu, kami masing-masing telah terikat dan sepaham dengan sebutan TTM-an. Hingga suatu hari di bulan April tahun itu, kami melakukan sesuatu yang tak akan aku lupakan seumur hidupku. Ketika itu kami sedang curhat seperti biasa, namun hujan tak juga berhenti sejenak, jam pun telah menunjukan pukul 11 malam. Aku seperti biasanya tetap menyimpan mantel dibawah jok motorku. Sebagai seseorang yang pernah di tempa di alam bebas, maka prinsip sedia payung sebelum hujan selalu kupegang teguh. Doi waktu itu tidak membawa mantel, akhirnya mantel itupun kupinjamkan ke dia. Kamipun bubar, dia langsung pulang ke kost, dan aku menyempatkan diri singgah ke kios rokok untuk membeli 2-3 batang rokok biar dirumah bisa merokok menunggu kantuk tiba. Namun belum beranjak dari kios tersebut, HP sirip hiu ku pun berbunyi, doi nelpon, dia tidak bisa masuk ke rumah kost. Pintu telah terkunci dan akhirnya kami kembali bertemu untuk mencari solusi bersama. Dengan cuaca yang cukup dingin pun kami pun bertemu di sebuah rumah makan 24 Jam di tengah kota, abis makan malam, aku pun menyarankan ke doi untuk menelpon temannya agar bisa menginap. Entah apa yang kami makan, rasanya seluruh solusi menjadi buntu dan akhirnya kami sepakat untuk menginap di sebuah losmen. Setelah melunasi administrasinya, kami pun segera masuk ke kamar untuk sekedar beristirahat. Tapi apa daya, bukan rehat yang kami dapat, justru peluh, keringat dan penat yang menyengat menggelayut setelah beberapa ronde “pertarungan” kami diatas ranjang.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, menyesal atas perbuatan ini. Takut akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, namun penyesalan itu seperti daun kering yang beguguran di bawah pohon beringin. Terabaikan dan peristiwa itu terus dan terus berulang. Dia bukan Pacarku, dia hanya teman curhat awalnya, setelah hubungan itu beberapa kali kami lakukan, akhirnya kami berhenti. Doi sibuk dengan skripsinya dan aku kembali ke rutinitas diskusi ala warung kopi dengan elemen Mahasiswa yang katanya agen of change.
Sudah 7 tahun kami tidak pernah bertemu, terakhir ku dengar kabarnya menikah dengan seorang temannya di Pendidikan dan Pelatihan untuk Calon Pekerja Negara Sendiri. Sedangkan diriku masih tetap dulu. Komunikasi kami kembali terbangun sejak Facebook Menggurita. Di sore hari ku cari pada kolom search, nama si doi, ternyata ketemu. Kampung tempat tinggalnya mungkin sudah bisa mengakses facebook atau sudah ada internet di kecamatannya (Terima Kasih Pak SBY atas Program Kerja Menkominfo supaya Internet bisa masuk desa).
Komunikasi kami pun
kembali terbangun, jarak satu hari perjalanan tak membuat kami enggan untuk
saling betegur sapa, tapi tetap dengan batas wajar yang telah kami sepakati.
Suatu hari kalian akan merasakan komunikasi dengan sahabat / mantan / TTM yang
pernah mengisi hari-hari kalian. Hubungan curhat itupun meningkat serius, kalau
di masa silam hanya seputar kampus dan dosen, kali ini bahasannya tentang
kehidupan pribadi masing-masing. Ternyata setelah sekian lama tak bertemu, doi
lagi mengurus perceraian dengan suaminya. Aku enggan untuk menanyakan lebih
lanjut, yang bisa kulakukan hanya menghibur dan berharap doi diberikan kekuatan
dalam menyikapi perceraiannya. Sampai pada beberapa hari yang lalu, sebuah
pesan masuk ke inbox Iphone 4G ku. Tidak enak sekali membaca kata-kata
tersebut, namun dari sebuah pesan itulah tertuang tulisan singkat ini. Inilah
kata-katanya :
“Dearest Pandaku, tak pernah kuinginkan kehancuran kehidupan pribadiku seperti ini. Aku gak kuat, aku gak akan pernah mau membuat kesalahan yang sama di kehidupanku sekarang ini. Udah cukup pengalaman itu membuatku sakit, nikmatnya hanya sesaat. Jika dari pertama ML itu akan membuatku hidup seperti ini, tentu dosa itu tidak akan pernah aku lakukan. Bahkan pria yang ku anggap sebagai abang merenggut kevirginanku tak pernah mau membalas smsku. Hanya kamu cowok berengsek yang mau berkomunikasi dengan aku yang pernah kamu pakai.”
SMS yang kedua :
“Dulunya aku
beranggapan, suamiku adalah cowok terbaik yang pernah ada, dia mau menerimaku
apa adanya. Dan Masa Laluku pun telah kuceritakan dari awal hubungan kami
sebelum menikah. Tapi apa yang terjadi.. Kekuranganku justru dijadikan senjata
untuk dia menyerangku, atas ketidakhamilan diriku di tahun ketiga pernikahan
kami.”
Kedua SMS diatas membuatku terhenyak, tak bisa berbuat apa-apa. Menyalahkan dirinya saja tentu tak adil bagi hidup dia. Mengumbar kata-kata bahagia. Ah.. terlalu klasik bagi seorang sarjana dari universitas terkemuka di negeri ini untuk menerima hiburan ala preman jalanan. Tapi nasi sudah menjadi bubur, tinggal diberi kacang, lobak, ikan teri, agar nikmat jangan lupa cabe tumbuk dan kecap. Marilah kita bersantap kawan.
Aku hanya bisa
menghela nafas dengan sms tersebut, apalagi kata-kata yang kugarisbawahi itu.
Tak kusangka, kata ini bisa kembali setelah pacarku yang ke sembilan sambil
menangis mengucapkan kata ini sebelum pergi ke amerika. Dan sejak itu aku
menyadari bahwa aku adalah cowok berengsek yang pernah membuat seseorang patah
hati dan bahkan ada yang ingin bunuh diri, tapi tidak jadi, dikarenakan aku
bersedia memperpanjang injuri time sebelum pluit terakhir.
Terakhir kali aku
berpacaran dua tahun yang lalu, setelah itu hubungan dengan beberapa orang
wanita tak membuatku tertarik untuk mengajaknya ke atas tempat tidur. Kejenuhan
itu kurasakan setelah beberapa kali dengan mahasiswi hiper yang kutemui di
kafe-kafe. Mereka menolak untuk dibayar, namun menerima belaian dan kecupan.
Beberapa diantaranya ngekost, ada juga yang tinggal dirumah kontrakan. Hubungan
temporer itu menambah panjang daftar nama wanita yang pernah kukencani. Tapi
pengalaman dengan doi tak pernah ada yang menandingi. Hingga saat tulisan ini
dibuat untuk mengenangnya dalam sebuah mimpi panjang yang berbayang.
“MUNAFIK” itulah kata-kata yang pantas buatku hari ini. Setelah menikmati lenguhan demi lenguhan, tetes keringat yang harum dari beberapa tubuh wanita, sekarang aku malah membuat tulisan ini. Tidak ada maksud apapun dari coretan yang sekarang ada digenggaman kalian. Untuk menghimbau, akupun bukan Ulama, untuk menyuruh pun aku tidak mendapatkan delegasi dari orang tua kalian. Jadi anggap aja selingan menunggu dosen masuk kelas.
Cerita diatas
bukanlah fiksi atau karangan. Ini murni pengalamanku. 4 Tahun yang lalu aku
selesai dari Kampus Bambu Runcing ini (heran,
dikampus kok pake bambu runcing, bukan pake pena). Tapi inilah kampus yang
memberikanku sejuta warna-warni dalam hidupku. Kampus tempatku bertemu dengan
kawan-kawan yang berbeda suku agama maupun ras. Bermacam karakter dan watak
individu kujumpai, ada yang dingin seperti kulkas, dan ada juga yang panas
seperti bara.
Di usia Kawan-kawan
sekarang akan banyak sekali pengalaman baru yang akan dijumpai. Baik itu
pengalaman yang baik maupun buruk. Jadi, Bijaklah jauh dari rumah!!!
Dikirimkan oleh : Lukazushikito